SWASEMBADA PANGAN
PENGERTIAN SWASEMBADA PANGAN
swasembada pangan merupakan kemampuan suatu negara mencukupi kebutuhan pangan negaranya sendiri. seperti yang kita tahu negara indonesia merupakan negara agraris yang sangat luas, kekayaan alam yang dimiliki negara indonesia sudah bukan menjadi rahasia umum. tapi seperti yang dapat kita amati fakta tersebut tidak sesuai dengan kenyataan bahwa negara indonesia masih mengandalkan impor beras (salah satu jenis pangan yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat) dari negara seperti vietnam,cina dan thailand. salah satu penyebab terjadinya impor beras ialah karna permintaan akan beras yang semankin lama semakin banyak akibat pertambahan penduduk sehingga produksi pangan kurang. selain dari itu peneliti dan akademisi menyadari bahwa kerawanan pangan juga terjadi dimana situasi pangan tersedia tetapi tidak mampu diakses rumah tangga karena keterbatasan sumberdaya ekonomi yang dimiliki (pendapatan, kesempatan kerja, sumberdaya ekonomi lainnya). Hal ini konsisten dengan pendapat Sen (1981) bahwa produksi pangan bukan
determinan tunggal ketahanan pangan, melainkan hanyalah salah satu
faktor penentu.
Ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi :
1. Berorientasi pada rumah tangga dan individu
2. Dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses
3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi
dan sosial
4. Berorientasi pada pemenuhan gizi
5. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif
1. Berorientasi pada rumah tangga dan individu
2. Dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses
3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi
dan sosial
4. Berorientasi pada pemenuhan gizi
5. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM SWASEMBADA PANGAN
Masalah pangan sebenarnya telah diantisipasi oleh pemerintah melalui berbagai macam kebijakan. Sejarah telah menyebutkan pada awal kemerdekaan Indonesia pemerintahan Soekarno pernah mengeluarkan Progam Kesejahteraan Kasimo untuk mencapai swasembada beras. Pemerintahan Soekarno juga pernah mengeluarkan Progam Sentra padi untuk mencapai swasembada pangan. Namun akibat turbulensi politik dan disertai dengan pemberontakan maka pada masa itu terjadi krisis pangan yang cukup parah.
indonesia sebenarnya memiliki sarana
dan prasarana lengkap dan dapat diandalkan untuk mendukung swasembada
beras. Terlebih bila memperhitungkan lahan pertanian padi yang masih
potensial dan luas, di samping jumlah sumber daya manusia (petani)
banyak, produksi pupuk dan benih memadai, serta sistem irigasi yang
sudah terbentuk sejak lama.
Namun pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah (pemda) serta seluruh pihak terkait malah terkesan
memandang sebelah mata sektor pertanian tanaman pangan. Fakta paling
gamblang tentang itu: lahan pesawahan – termasuk yang beririgasi teknis
– terus menyusut secara signifikan akibat tergusur aneka kepentingan
nonpertanian, terutama permukiman dan industri.
Maka
jangan sesali kalau produksi beras nasional cenderung menurun. Bahkan
kalaupun berbagai faktor amat menunjang – seperti iklim, pengendalian
hama, juga penyediaan berbagai input – produksi beras nasional sulit
sekali ditingkatkan lagi. Produksi beras nasional boleh dikatakan
sudah stagnan di level 50-an juta ton per tahun. Padahal konsumsi
nasional, sebagai konsekuensi pertambahan penduduk, terus meningkat
pasti dan begitu signifikan.
Di lain pihak, negara-negara
seperti Thailand dan Vietnam terus berupaya keras meningkatkan produksi
beras secara intensif. Upaya mereka sungguh tak mengenal lelah,
termasuk mengembangkan dan menerapkan inovasi pertanian. Target mereka
bukan lagi sekadar mencapai swasembada, melainkan tampil menjadi
negara produsen beras terbesar di dunia.
Dalam konteks seperti itu pula,
Thailand dan Vietnam sering tampil menjadi “penyelamat” bagi Indonesia
ketika persediaan beras di dalam negeri menyusut. Bagi Indonesia,
Thailand dan Vietnam kini menjadi sumber andalan bagi impor beras.
Tapi
celakanya, impor beras kini terkesan bukan lagi sekadar alternatif
sementara. Impor beras seolah sudah menjadi andalan untuk mengamankan
kebutuhan nasional. Di tengah produksi beras di dalam negeri yang
cenderung stagnan atau bahkan terus menurun, sementara kebutuhan
konsumsi mencatat grafik yang kian menanjak, pemerintah tidak cukup
terlecut untuk bertindak habis-habisan menggerakkan upaya peningkatan
produksi beras nasional. Pemerintah terkesan lebih merasa aman dan
nyaman mengandalkan impor.
Untuk
mendukung salah satu program revitalisasi pertanian tersebut,
pemerintah seharusnya menyiapkan lebih banyak lagi bibit unggul untuk
para petani, sehingga produksi pertanian dari tahun ke tahun akan
semakin membaik. Untuk mewujudkan swasembada yang dimaksud, maka
diperlukan peningkatan produksi beras sebanyak 2 juta ton tahun 2007
dan peningkatan lima persen per tahun hingga tahun 2009.
Kunci
keberhasilan peningkatan produksi padi, antara lain optimalisasi
sumber daya pertanian, penerapan teknologi maju dan spesifik lokasi,
dukungan sarana produksi dan permodalan, jaminan harga gabah yang
memberikan insentif produksi serta dukungan penyuluhan pertanian dan
pendampingan.
Sementara strategi
yang dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan itu, yakni dengan
peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi,
dan pemberdayaan kelembagaan pertanian serta dukungan pembiayaan usaha
tani.
Sedangkan upaya
peningkatan produktivitas padi antara lain melalui pengelolaan tanaman
terpadu (PTT) di 33 provinsi seluas 2,08 juta hektare, penanaman padi
hibrida di 14 provinsi seluas 181.000 hektare, dan perbaikan
intensifikasi non-PTT di 33 provinsi seluas 10,3 juta hektare.
Setelah Soekarno turun dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh Soeharto, Indonesia mengalami masa transisi antara tahun 1965 sampai 1967. Masa transisi tersebut merupakan awal dari cikal bakal dari Bulog. Pada tahun 1966 dibentuk Komando Logistik Nasional (KOLOGNAS), namun pada tahun 1967 KOLOGNAS dibubarkan dan diganti dengan Badan Urusan Logistik (BULOG).
HAMBATAN DALAM PROGRAM SWASEMBADA PANGAN
- pencapaian swasembada pangan, terutama padi, jagung, kedelai dan gula masih menghadapi kendala karena keterbatasan lahan pertanian di dalam negeri.
- Selain keterbatasan lahan, kendala lain yang dihadapi mencapai
swasembada pangan masih tinggi alih fungsi atau konversi lahan
pertanian ke non pertanian.
Saat ini, konversi lahan pertanian mencapai 100.000 ha per tahun, sedang kemampuan pemerintah menciptakan lahan baru maksimal 30.000 ha. Hingga setiap tahun justru terjadi pengurangan luas lahan pertanian.
Sementara perubahan yang mengakibatkan cuaca tidak menentu dan keterbatasan anggaran juga berdampak terhadap upaya swasembada produk strategis itu.
Swasembada pangan terkendala pada keterbatsan lahan, swasembada pangan berkelanjutan pemerintah telah menetapkan peningkatan produksi. Untuk jagung 10 persen per tahun, kedelai 20 persen, daging sapi 7,93 persen, gula 17,56 persen dan beras 3,2 persen per tahun.Dalam Sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2010, dia mengatakan, mencapai target ini diperlukan peningkatan areal pertanaman. Dia mencontohkan, pada swasembada gula dibutuhkan lahan tambahan 350.000 hektare (ha), kedelai 500.000 ha. “Tapi ada kendala. Hingga saat ini, pun belum ada kepastian soal lahan,” katanya dalam kegiatan yang diikuti para Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Indonesia.Kondisi ini, menjadikan satu lahan pertanian terpaksa untuk menanam berbagai komoditas tanaman pangan secara bergantian. Akibatnya, Indonesia selalu menghadapi persoalan dilematis dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman.Jika menggenjot produksi kedelai, produksi jagung akan turun. Sebab, lahan diambil kedelai. Juga sebaliknya, karena kedua komoditas ini ditanam saling menggantikan.Sebenarnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menjanjikan lahan 2 juta ha dari total lahan terlantar 7,3 juta ha untuk pertanaman pangan. Namun hingga saat ini belum ada kejelasan soal lahan itu.Selain keterbatasan lahan, kendala lain yang dihadapi mencapai swasembada pangan masih tinggi alih fungsi atau konversi lahan pertanian ke non pertanian.Saat ini, konversi lahan pertanian mencapai 100.000 ha per tahun, sedang kemampuan pemerintah menciptakan lahan baru maksimal 30.000 ha. Hingga setiap tahun justru terjadi pengurangan luas lahan pertanian.Sementara perubahan yang mengakibatkan cuaca tidak menentu dan keterbatasan anggaran juga berdampak terhadap upaya swasembada produk strategis itu.Menyinggung upaya pemerintah mengatasi persoalan keterbatasan anggaran, pemerintah mengembangkan program food estate atau kawasan pertanian skala luas dengan merangkul swasta, BUMN dan BUMD. “Food estate itu sebagai akselerasi, karena anggaran APBN terbatas. Orientasi ekspor, tetapi kalau kebutuhan dalam negeri berkurang, diutamakan mengisi kebutuhan dalam negeri.
Pada masa SBY, pemerintah mengeluarkan progam perencanaan revitalisasi pertanian yang mencoba menempatkan kembali sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual dengan meningkatkan pendapatan pertanian untuk GDP, pembangunan agribisnis yang mampu meyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung dan palawija.
Pada masa nya SBY dianggap gagal dalam hal swasembada pangan dan hanya dianggap keberhasilan yang semu,Pentingnya pencapaian swasembada beras, perlu diketahui kedudukan khusus beras dalam menu, budaya, dan politik Indonesia. Beras adalah bahan makanan pokok bagi orang Indonesia. Berbagai bahan makanan lain pengganti beras pernah dianjurkan oleh pemerintah, namun rakyat tidak menyukainya.Ketika harga beras melonjak sampai pada titik di mana konsumsinya harus dikurangi, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kelaparan. Beras adalah pusat dari semua hubungan pertalian sosial.Pemerintah juga sering melakukan praktik dagang menjelang pelaksanaan kebijakan ekonomi yang kontroversial. Stok beras di pasaran dibuat langka baru kemudian harga naik, akhirnya masyarakat dipaksa memahami impor beras yang akan dilakukan oleh pemerintah. Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah berdampak dua hal yakni:
Pertama, menurunkan motivasi kerja para petani karena hasil kerja kerasnya akan kalah berkompetisi dengan beras impor di pasaran.
Kedua, menterpurukkan tingkat pendapatan petani domestik yang rendah menjadi sangat rendah.
Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau mazhab neo-liberalisme.
ANALISIS
Presiden SBY adalah seorang doktor pertanian yang pernah menulis tesis tentang revitalisasi pertanian dengan beberapa kesimpulan, di antaranya:1) Untuk membangun kembali pertanian maka intervensi asing semacam IMF dan World Bank harus dinetralisasikan dari bidang pertanian.(2) Pemerintah perlu mengorientasikan kebijakan fiskalnya untuk mendukung sektor pertanian.(3) Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan pertanian yang berorientasi kepentingan petani dengan penerapan penuh sistem pertanian berkelanjutan. Namun sayangnya keyakinan atau ide cerdas SBY dalam disertasinya berbalik dengan realitas kebijakan ekonomi-politik pertanian yang direncanakan dan diimplementasikan.Kebijakan pemerintahan SBY saat ini tidak mendukung berkembangnya sektor pertanian dalam negeri. Antara lain, Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal kemampuanya masih di bidang agraris. Misalnya, kedudukan Pulau Jawa sebagai sentra penghasil padi semakin kehilangan potensi karena industrialisasi dan pembangunan perumahan. Konversi tata guna lahan ini merupakan salah satu pemicu merosotnya pertanian Indonesia yang menjadi sumber penghidupan 49 persen warga negara.Ada sejumlah faktor yang selama ini menjadi pemicu utama terpuruknya sektor pertanian, di antaranya :1. Dari segi sarana dan prasarana, dana pemeliharaan infrastruktur pertanian, tidak ada pembangunan irigasi baru, dan pencetakan lahan baru tidak berlanjut.
2. Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian yang strategis bagi ketahanan negara.3. Dari sisi kebijakan dan politik, penerapan otonomi daerah membuat sektor tanaman pangan terabaikan. Para elite politik membuat kebijakan demi partai, bukan untuk kebijakan pangan rakyat. Keadaan semakin buruk dengan tidak adanya keamanan dan stabilitas yang seharusnya dijalankan aparat penegak hukum.